Pagi ini, seorang teman berujar dgn nada "kecewa" karna anaknya yang pintar ternyata sangat pemalu. Malu mengikuti perlombaan2 akademik n n0n akademik. Malu menunjukkan kepandaian nya di depan umum. Malu di usung sbg utusan sekolah untuk mengikuti musabaqoh tilawah. Yang menjadi jwbn sang anak ialah "mengaji bukan untuk di perlombakan, mamak".
Lalu aku mengingat masa kecilku yang tumbuh sebagai anak pemalu. Kerap menahan keinginan, terlebih kemarahan. Mungkin juga seorang anak yang penakut.
Aku yang pemalu, hanya bicara bila di minta. Hanya menangis diam2 bila terluka. Hanya menahan diri bila marah. Aku adalah anak yang tak mampu berekspresi lepas lewat ucapan maupun tindakan.
Lalu aku mulai bersekolah. Sebagai anak yang hanya "cukup" berprestasi di kelas, para guru mungkin lebih menyadari hal itu drpd diriku sendiri. Sampai akhirnya aku "dipaksa" menanggalkan rasa malu.
Guruku bilang aku harus berani tampil. Harus berani berdiri dihadapan banyak orang. Harus berani bicara dimuka umum. Bila mau berprestasi. Maka tampillah aku "di muka" dgn sedikit demi sedikit membuang rasa malu. Dan kini, tanggal sudah sebagian besar rasa malu yang dulu meng-hijab-i.
Apa yang kuperoleh dr kberanian itu?
Aku kehilangan diriku. Aku menjalani waktu yang panjang dgn begitu banyak penyesalan. Aku tak lagi menimbang ketika melihat hal yang tak sepaham. Lisanku lantang menyampaikan kemarahan dan kadang tak pduli bila mungkin menyakiti orang. Aku, lebih lepas "berekspresi".
Kusampaikan pada temanku, biarkan ia tetap menjadi anak yang pemalu. Ia tetap bisa berprestasi tanpa harus menanggalkan rasa malu. Menyampaikan ilmu dgn menulis buku, mungkin.
Bukankah maksiat dilakukan dgn sengaja karna telah tanggal rasa malu dr pelakunya..
Wallahu A'lam